Hidup adalah pilihan, Tuhan saja memberikan ruang untuk memilih, kenapa kamu yang repot
Mungkin ini adalah postingan pertama saya tentang hal-hal di luar tema “Perjalanan”. Maaf lho, tapi
hal-hal begini memang tidak bisa kalau dibiarkan secara terus-menerus. Nanti
jadi jamuran, lalu penyakitan.
Saya ingin berpesan rasanya,
baiknya pertanyaan-pertanyaan yang mengandung unsur “kapan” dan berbau sensitif
itu tidak usalah ditanyakan. Mending bertanya yang lain, karena kita tidak akan
tahu batas perasaan seseorang itu sampe mana. Ya kalo baik-baik saja, kalo
misalnya psikisnya terganggu ? gimana hayo ?
Ya sudah mari dilanjut, jadi
begini.
Sejak beberapa minggu yang
lalu mata saya agak gatal, karena membaca pesan singkat dari teman saya. Sejujurnya,
saya tidak pernah mempermasalahkan pertanyaan-pertanyaan yang terlintas ke diri
saya. Tapi, untuk kali ini pesan tersebut sungguh menganggu fokus saya.
Kami cukup lama tidak
bersua, terakhir berjumpa entah berapa tahun yang lalu. Saya selalu berusaha
menjaga pertanyaan-pertanyaan yang menjurus pada sensitif diri. Apabila
terlanjur kepo, saya selalu berusaha untuk mencari kesibukan lain agar lupa
dengan rasa penasaran yang amat tidak penting itu.
Pesan pun masuk ke gawai
saya. Saya yang lagi fokus-fokusnya mengerjakan Proposal Tesis, seketika
ambyar.
“ Lid, kok sekolah terus buang-buang duit ‘’
“ Lid, kok sekolah terus, ati-ati lupa nikah, ingat nikah itu separuh agama ‘’
Baik, mari saya jelaskan.
Bagaimana Indonesia mau maju
kalau bangsanya berpikiran bahwa sekolah itu buang-buang uang ?
Apakah iya sekolah terlalu
lama menyebabkan saya lupa menikah ? Saya kuliah ini jurusannya Hukum Keluarga
lho, setiap hari yang saya kerjakan dalam tugas kuliah dan semacamnya ini sangat
bersinggungan dengan TEMA PERNIKAHAN. Sungguh aneh apabila saya lupa ingatan
dengan PERNIKAHAN.
Bukan berati, yang tidak
kuliah jurusan Hukum keluarga lantas lupa dengan Pernikahan. Tidak Ferguso, tidak ingatlah itu.
Tenang, saya tidak lupa !
Tentu semua orang memiliki
rencana kehidupan. Apa yang ia lakukan pasti sudah tahu akan konsekuensinya. Saya makin menghargai pilihan hidup
seseorang, pikiran saya makin lama semakin tersadarkan. Kejadinya bermula ketika saya mentweet tentang perceraian. Malam itu saya sedang
suntuk-suntuknya membaca aneka gugatan perceraian. Seketika saya beranggapan
buruk, tanpa memikirkan bahwa sebetulnya ada banyak pertimbangan dalam keputusan
perceraian yang diambil orang tersebut.
Lalu, sahutan di twitter pun
muncul. Kira-kira begini “ eh jangan salah, aku dulu melakukan itu juga banyak
pertimbangan panjang, luapan kesedihan, penyesalan dan banyak hal, tapi ya
gimana lagi, mungkin ini memang jalannya ‘’
Semenjak itu dan melihat
balasan tersebut. Saya mulai tertampar, saya merasa terlalu menghakimi pilihan hidup
orang, seolah-olah apa yang saya utarakan tersebut sepenuhnya benar. Padahal
senyatanya saya tidak berada di posisi tersebut. Mungkin, apabila saya berada di
posisi tersebut, bisa saja saya mengambil keputusan yang serupa.
Itu baru soal perceraian, masih ada hal lain.
Jadi, dulu saya pernah keceplosan ngobrol di salah satu grup WA, kira-kira begini: " Nikah lah, nikah lah jangan sampe ketuaan, kasihan besok anaknya". Lalu ada salah satu yang menjawab " Lid, ada loh yang nikah muda, uda punya anak juga, ternyata pas usia 25 dia dipanggil Tuhan, ada juga yang nikah usia 30 tapi bisa membesarkan anaknya sampe usia 80 tahun".
Seketika saya langsung "DEG" kok ya bahlul (bodoh),bisa-bisanya saya mengatakan seperti itu. meskipun konteksnya bercanda, tapi tak selayaknya saya ucapkan. Oke, dari situ saya belajar, bener juga ya " mau menikah muda atau tua, usia adalah rahasia Tuhan".
Lanjut kecibiran lainnya
***
“ Lid,
kok sekolah terus sih, buang-buang duit” .
Ya Memang saya buang-buang duit ? Terus kenapa ? Wkwkw Gak deng.
Jadi begini. Jujur saya
memang berkeinginan S2 ini sejak SMP. Saya tidak pernah menyangka Tuhan akan
mengabulkan keinginan saya yang satu ini. Bukan berati saya tidak percaya doa saya tidak dikabulkan lho. Bagi saya, ini adalah kesempatan emas, kapan lagi sekolah masih dibayarin orang tua, tak perlu saya mencari beasiswa-beasiswa itu. Bersyukur dan disyukuri nikmat dari-Nya.
Setelah terpuruk dan terjatuh di masa
sekolah SMA, saya selalu berusaha agar setidaknya keinginan S2 tersebut suatu saat
bisa tercapai. Terkadang orang melihat saya terlalu aneh, ambisius, dan lebay
kalau menginginkan sesuatu. Tapi, bagi saya pribadi sih gak masalah toh ini tentang mimpi dan semua orang berhak memilih keinginan-keinginan dalam hidupnya.
Keinginan sekolah S2 ini pun awalnya tidak dianjurkan oleh Ibu saya. Di awal semester 6, Ibu saya berpesan bahwa sebaiknya setelah
lulus ini, saya bekerja saja. Di masa tersebut saya betul-betul kecewa, sampai
akhirnya cita-cita S2 ini saya abaikan begitu saja.
Namun, suatu sore saat saya
hendak berangkat mengajar. Tiba-tiba ibu saya bertanya tentang skripsi saya dan
kapan kelulusan saya. Saya menjawab saja dengan perkiraan, karena sejujurnya
saya sendiri sudah merasa kecewa, karena gagal lulus 3,5 thn.
Sore itu, Eh lakok tiba-tiba ibu saya
bertanya lagi “ Lalu daftar kuliah mu kapan lho kalo kayak gini ? “
Saya pun tiba-tiba kaget dan
menjawab “ hah kuliah apa ?”
Ibu saya menjawab “ ya
kuliah S2, itu uang buat daftaran sudah tak siapkan, tinggal kamu pilih mau
kampus yang mana ? “
Saya “ lho katanya kerja
saja, ya gpp kalo memang mau kerja “
Ibu saya pun tetap dengan
tegasnya mengatakan “ gausa kerja, nanti saja kerjanya’’
Setelah kejadian sore itu,
saya pun terdiam dan masih tidak percaya. Kira-kira kelulusan hampir dekat,
bapak saya mulai menyingung masalah S2. Malam itu saya betul-betul disuruh untuk
mencari info, kampus mana yang sekiranya masih buka. Setelah melalui proses yang
panjang, akhirnya saya pun lanjut S2.
Bagi saya, melanjutkan S2 setelah lulus tanpa bekerja lebih dahulu adalah soal pilihan hidup saya. Di awal kuliah pun, saya menghadapi sindrom, cemas dan takut apabila tidak bisa mengimbangi. Lebih-lebih saya pindah kosentrasi, dari yang awalnya saya ambil Hukum Pidana sekarang beralih ke Hukum Keluarga. Saya pun menyadari tentang kekurangan saya, tapi ya balik lagi. Ini adalah pilihan saya, saya harus memperjuangkan.
Kecemasan-kecemasan yang
lain tentang tidak jadinya lulus 3,5 tahun, gagal menjadi lulusan terbaik dan
semacamnya saya abaikan. Ternyata dibalik itu semua, Tuhan telah menyiapkan S2
ini yang telah saya impikan sejak SMP.
Makin ke sini, saya semakin
sadar. Bahwa setiap manusia punya keputusan dan jalan hidupnya masing-masing. Saya ya bahagia-bahagia saja kalau mendengar teman-teman saya mulai diterima kerja, ada juga yang memulai usaha, mencoba sekolah desain dan sebagainya.
Kita
tidak bisa menghakimi bahwa pilihan hidup orang lain itu salah dan kita lah
yang paling benar. Bukan berati ketika orang lain memilih jalan hidup beda
dengan kita, lantas kita paling benar dan keputusan orang lain salah. Tentu tidak
Ferguso.
Jujur, saya mengira semakin
bertambah dewasanya seseorang, semakin bijaklah seseorang itu dalam menerima
keputusan orang. Eh tapi tidak juga ya ternyata.
Banyak sekali pertanyaan
yang berbau “ KAPAN ‘’ membuat hati seseorang yang ditanya itu baper. Sebetulnya
itu bukan baper sih, tapi lebih ke “ Mengapa kamu menanyakan hal itu ? ya kalo
beda dengan kamu lantas kenapa ? “ Ini sama menyayat hatinya lho dengan pertanyaan " Kok Gendutan ya kamu ? "
Kurang-kurangi lah,
bertanya-tanya tentang hal yang dirasa sangat sensitif untuk ditanyakan. Ya gak bertanya aja sih, berkomentar pun sebaiknya tetap ada batasannya. Baik hal tersebut ditujukan kepada teman dekat, teman jauh, atau teman-teman lainnya.
Tema obrolan itu sebetulnya banyak lho, tinggal bagaimana kita mau memulainya saja
sampai terhindar dari pertanyaan atau komentar yang membuat hati
tertusuk.
Apabila bingung mulai
membahas apa saat menghubungi kawan lama, opsi di bawah ini bisa dijadikan
pilihan, misal :
- Skincare
- Perjalanan
- Memasak
- Isu terkini, berita-berita nasional
- Buku terbaru
- Gadget terbaru
- Fashion terbaru
- Film
- Kamera
Dan masih banyak lagi.
Banyak bergaul dengan orang
yang tidak sekeyakinan pun, mungkin bisa dijadikan alternatif pembelajaran
agar lebih bisa menghargai, pilihan keyakinan hidup seseorang.
Tanpa embel-embel " Ya semoga kamu berhijrah ya, atau terbuka pintu hatinya untuk mualaf ", TIDAK.
Miris saya tuh dengan
hal-hal berbau begini. Kasihan gitu lihatnya. Mungkin ada benarnya pepatah
mengatakan “ pergi-pergilah yang jauh agar kau banyak belajar ‘’.
Saya membenarkan sih, kalau memang
berpergian itu membuat seseorang banyak belajar, tapi ya balik lagi apakah
seseorang tersebut sudah siap menerima pelajaran itu ? atau malah kaget.
Baik-baik deh dengan pilihan
orang, karena setiap orang punya waktu dan kesempatan masing-masing. Hargai
setiap keputusan seseorang, apabila kalian merasa tidak sejalan dengan
pemikiranmu, kira-kira siapa yang salah ya ? Ferguso ?
***
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapuslaiya aku pun bingung 😂.
HapusKalau aku, paling tahan ucapan aja. Lidah lebih tajam daripada pedang.
BalasHapusIya sih. Tp kdg suka kepeleset, tau2 nyinyir wkwk
HapusTabik, Lidia!
BalasHapusTetap semangat!
zuwun mass Rif
HapusSejauh ini aku masih baik2 aja dg pertanyaan "kapan". Apapun itu konteksnya. Yg jd masalah btku kalo kalimat berikutnya bernada menghakimi, menuduh, atau menyimpulkan sendiri tanpa tau seberat apa hal yg sdh kita alami. Biasanya aku memilih menghindari obrolan smacam ini, sebab menenangkan diri sendiri bagiku lebih berat dibandingkan melayani ocehan org.
BalasHapusIya sih kdg sebelnya ya pas menghakimi. Seolah dia tuh Dewa banget Wkwkw
HapusZebal aku tu
Udah kenyang sih dengan pertanyaan "kapan?", baik yang bercanda maupun yang serius, baik yang ditanyakan oleh orang2 terdekat sampai orang yang baru kenal, bahkan sok kenal. Hahaha...
BalasHapusPernah baper dengan pertanyaan kayak gini, tapi sekarang paling aku cuma nyengir, atau kalo lagi pengen ribut dan orang itu sudah mulai nge-judge, ya aku "ceramahi" tuh orang. Btw, aku pernah nulis uneg-uneg kayak gini, tapi lebih spesifik ke pertanyaan "kapan nikah?".
Iya barusan aku baca punyamu Mba.
HapusAku sih sebenernya biasa aja, cuma aku aneh aja gt. Sekolah dibilang buang2 duit, padahal ya gak pake duit dia Wkwkwk
Sebel lah Wkkw
Akan tetapi, pertanyaan ini sungguh tidak akan habisnya sepanjang hidup.
BalasHapusKapan lulus?
Kapan kerja?
Kapan nikah?
Kapan punya anak?
Kapan dikasih adek?
Kapan punya cucu?
Begituuu aja, muter terus.
Dulu, pas mau nikah (prosesnya cepet)
~ "nggak hamil duluan kan?" Kata seseorang bisik-bisik dengan tetangga.
Terus sekarang juga begitu: lhoo kok belum dikasih momongan? :))
Kalau suasana hatinya lagi bagus ya tak senyumin dan tanggapin baik2. Kalau lagi nggak ya menghindar, daripada berkata-kata nanti salah-salah.
Betul sih mba gak akan habis.Setelah baca tulisan Mba Indah ttg menikah bukan prestasi, aku pun sadar ternyata di sana banyak juga yg komentar dan rata2 yg ditanya kapan nikah pun gak usia 23 th aja, kyk di masaku ini.
HapusNah entah mengapa pas kemarin ini, aku lagi sumpek2nya. wkwk jadinya ya baper
Sini Lid peluk ahahahahahaha
BalasHapusYuk ngobrol sama aku, gak bakal tak takoni kapan rabi n kapan lulus wis, aku yo bosen kok dengan pertanyaan itu. Mending kapan yang lain. Kapan dolan omahku maneh?
wkwkw makasi lho mbak, gak ditanya kapan-kapan yang "itu" wkwkwk
HapusLah nanti lah kalo kami pas longgar waktu, pengen main ke sana lagi :D, aku wes kangen mie bakso juga
Betul... pertanyaan "kapan" ini seakan-akan manusia punya kadaluarsa padahal yah namanya nikah, belajar, dll semua balik lagi ke kesiapan individu tsb sehingga gak bisa disamaratakan.
BalasHapusbener kak, jadi pusing sendiri kalo dipikir-pikir hahah mending enjoy ya
Hapus